Senin, 16 Juli 2012

STUDI TENTANG SKOLASTIK BUDDHAYANA



STUDI TENTANG SKOLASTIK BUDDHAYANA

Disusun Untuk Mememuhi Salah Satu Tugas Individu
Mata Kuliah Filsafat Buddha II


Dosen Pengampu:
Sutikyanto Sasana Bodhi, S.Ag, M.Hum












SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA BUDDHA
STIAB ”SMARATUNGGA”
BOYOLALI
2009

KATA  PENGANTAR

Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Namo Buddhaya
Dengan puja dan puji syukur kepada Sanghyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha  Esa, Sang Triratna, para Buddha, Bodhisatva dan Mahasatva, atas pancaran kasih sayangnya yang telah di limpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Setudi Tentang Skolastik Buddhayana“. 
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak antara lain:      
1.      Sutikyanto Sasana Bodhi, S.Ag, M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Buddha II, yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam pembuatan makalah ini.
2.      Rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang telah membantu terselesainya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, dikerenaan keterbatasan pola pikir penulis baik sarana maupun prasarana, tetapi tidak menjadi suatu masalah dan penghalang serta beban untuk penyusunan makalah ini. Maka dari itu sangat bermanfaat apabila berbagai pihak berkenan untuk memberikan saran dan kritiknya yang bersifat membangun.
Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi lembaga pendidikan pada  khususnya maupun masyarakat  pada umumnya .

Semoga Semua Mahluk Berbahagia
Sadhu... sadhu...sadhu...

                                                                                                
                                                                                           Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
BAB II SKOLASTIK BUDDHAYANA
A. Penelusuran Kitab Suci....................................................................... ....... 3
B. Konsep Buddhayana.................................................................................. 6
C. Terminologi Buddhayana Universal........................................................... 7
BAB III PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................................. 12

DAFTAR REFERENSI


BAB I
PENGANTAR
A.    Latar Belakang
Agama Buddha yang kini bermanifestasi ke seluruh dunia, terdiri dari berbagai aliran yang bentuk lahiriahnya sangat berbeda antara satu dengan yang lain; tentunya perbedaan-perbedaan itu memiliki segi positif tetapi juga mempunyai segi negatif. Alangkah baiknya jika umat juga mengetahui berbagai cara untuk melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan mereka sehari-hari, karena hal ini dapat memberikan dorongan yang kuat untuk me­laksanakan ajaran tersebut dengan lebih baik lagi, terutama karena banyak segi penting yang belum dikenal.
Ajaran Sang Buddha telah tersebar luas ke seluruh Asia, dan di setiap negara telah berintegrasi (bersatu) sesuai dengan pola kehidupan dan kebudayaan di daerah masing-masing. Inilah sebabnya, mengapa kita berhadapan dengan sedemikian banyak corak agama Buddha yang secara lahiriah khususnya, nampak sangat berbeda.
Ajaran Sang Buddha kadang-kadang juga disebut Ajaran Damai. Tak pernah ada perang untuk agama atau demi ajarannya, tetapi tentu saja ada kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Akan tetapi hal itu sangat jarang terjadi sehingga bisa diabaikan jumlahnya bila dibandingkan dengan sejarah yang terjadi di negara-negara Barat. Salah satu segi yang terpenting dalam ajaran ini ialah Cinta Kasih, suatu prinsip utama dalam mewujudkan ini adalah bertoleransi terhadap semua yang hidup dan terhadap pendapat orang lain. Umat Buddha di Asia belum pernah melibatkan diri dalam peperangan dengan alasan demi agama, biasanya mereka mengalah (seperti di India). Juga merupakan suatu fakta bahwa di Asia sedikit pun tidak dianggap aneh jika ada orang yang menganut agama yang berbeda.
Segi pokok yang lain adalah Kasih Sayang (Karuna), suatu prinsip yang terdapat pada setiap aliran. Kasih Sayang bagi mereka yang masih dikuasai oleh Tiga Akar Kejahatan yaitu Keserakahan (lobha), Kebencian (dosa), dan Kebodohan/Ketidaktahuan (moha). Sektarianisme atau semangat meluap-luap untuk membela aliran masing-masing adalah suatu bentuk kebodohan. Pada masa ini, "peradaban" Barat makin meluas pengaruhnya di seluruh dunia. Dalam beberapa hal kita dapat menyebutnya "peradaban", karena memberikan 'perbaikan bagi penghuni-penghuni lain di planet kecil ini, yang karena kebersamaan kita di planet ini seharusnya kita merasakan suatu pertalian yang erat. Tetapi dalam masalah-masalah lain lebih baik tidak memakai istilah "peradaban", karena pengaruh atau lebih tepat campur-tangan ini, disertai oleh penyebaran latar belakang kebudayaan Barat.
Suatu akibat yang terjadi dengan wajar, jika sekarang ini filsafat-filsafat Timur sedang merembes ke Barat, dan orang Barat mulai cemas akan "campur-tangan" ini dan merasa perlu untuk "menjaga kebudayaan Barat", itu menunjukkan bekerjanya Hukum Sebab dan Akibat.
Apa yang telah disebutkan di atas akan dapat menambah sedikit keterangan pada sukanya generasi baru umat Buddha di Barat yang tidak hanya sekedar tumbuh untuk sementara, tetapi yang benar-benar dapat membantu terus perkembangan agama Buddha. Sumbangan pertama yang dapat diberikan agama Buddha kepada kebudayaan bangsa adalah suatu pendirian non-sektarianisme (tanpa semangat yang meluap-luap untuk membela aliran masing-masing) suatu sikap untuk keselarasan dan kerukunan bersama. Inilah yang sesungguhnya kita butuhkan, dan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat berharga.
Dalam hal ini yang penulis bahas adalah tentang skolastik buddhayana. "Buddhayana", Jalan atau Kendaraan Sang Buddha, adalah sebuah nama yang digunakan untuk menunjukkan intisari ajaran, yang sebenarnya berdiri sendiri, terpisah dari aliran kebudayaan yang mana pun yang telah berkembang sepanjang sejarah. Ini bukanlah penciptaan suatu "yana" baru atau "tri-yana". Tujuannya ialah untuk mencapai suatu perpaduan antara intisari ajaran dengan pola hidup dan kebudayaan seseorang, seperti yang telah terjadi di negara-negara Buddhis; dan kini juga terjadi di Indonesia.

BAB II
SKOLASTIK BUDDHAYANA

A.    Penelusuran Kitab Suci
Terdapat dua versi Kitab Suci Tripitaka. Yang satu bersumber pada bahasa Pali, dan yang lain bersumber pada bahasa Sansekerta. Dalam hal ini Tripitaka tidak memiliki bukti konkrit mengenai bahasa apa yang dipakai oleh Buddha Gotama. Buddha menggunakan lebih dari satu bahasa/dialek. Dalam Aranavibhanga sutta Sang Buddha memberikan nasehat kepada para bhikku untuk menyesuaikan diri dengan bahasa-bahasa lokal tempat mereka membabarkan ajaran (M. II, 234). Menurut Kinti sutta, orang seharusnya lebih memperhatikan makna dan jiwa daripada hanya kata-kata (M. II, 239). Karena itu Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk mempelajari ajaran Buddha dalam bahasa masing-masing (Vin. II, 139).
Penemuan dan penelitian atas sisa-sisa naskah Buddhis kuno seperti Udanavarga dan Dharmapada Gandhari, membuktikan bahwa naskah-naskah ini bukan merupakan terjemahan dari Kitab Suci Pali. Sebuah riset telah mengungkapkan bahwa baik Kitab Suci Pali maupun Sansekerta dapat ditelusuri ke asal yang sama. Empat dari lima Kitab Nikaya Pali dapat ditemukan padanannya pada empat Kitab Agama Sansekerta: Kitab Suci Pali yang dikenal sekarang ini berasal dari penulisan di Sri Lanka. Berdasarkan penelitian linguistik, sekalipun mirip, kitab suci itu bukan yang disusun dalam Konsili Ketiga.
Penyusunan Kitab Suci dimulai pada Konsili Pertama, tiga bulan setelah Buddha parinibhana. Peserta Konsili 500 orang, sedangkan jumlah Arahat jauh lebih banyak dari itu (pada peristiwa Magha Puja, tercatat 1250 Arahat). Menurut Kitab Suci sendiri, Purana yang kembali dari daerah selatan sesudah berakhirnya Konsili, memilih berbeda pendapat dengan hasil Konsili, mengingat Dharma miliknya sendiri yang telah ia terima langsung dari Buddha (Vin. 11, 290).
Bisa dimengerti kalau terdapat sejumlah ajaran Buddha yang autentik, yang tidak terkumpul dalam Konsili Pertama. Dan menjadi cukup beralasan, lewat tradisi oral yang panjang, sampai kemudian dituliskan, keranjang Kitab Suci terbuka untuk dimasukkan naskah-naskah lain di kemudian hari. Dalam Kitab Suci dimasukkan pula khotbah-khotbah para siswa utama, seperti Sariputra, Moggallana, Ananda, yang dipandang kalau diberikan oleh Buddha sendiri akan sama isinya, sehingga dihargai seperti sabda Buddha.
Buddha memberi petunjuk empat pengujian otoritas, tentang apa yang dinyatakan oleh seseorang diterima langsung dari Buddha, atau dari Sangha, atau dari beberapa biku senior, atau dari satu biku senior, yang harus sesuai dengan Sutta dan Vinaya (D. II, 123-125). Watak yang demokratis dan menghargai pluralisme, ditunjukkan oleh Buddha antara lain dalam pesan kepada Cunda, agar berkelompok mempelajari semua-ajaran bersama, dan tidak mempertengkarkannya (D. Ill, 127). Buddha mengajarkan bahwa bagi orang yang pandai tidaklah cukup melindungi kebenaran dengan membuat kesimpulan: hanya ini saja yang benar dan lainnya adalah keliru (M. II, 171). Sebagai agama yang universal, ajaran Buddha tidak bersifat eksklusif.
Di zaman Buddha tidak terdapat penggolongan Theravada, Mahayana, atau Tantrayana. Dari kitab sejarah Dipavamsa (abad IV M.), Mahavamsa (abad V M.) dan Samantapasadika (Komentar Vinaya) diketahui bahwa istilah Theravada pertama kali dikenal setalah Konsili Pertama. Apa yang diterima dalam Konsili itu disebut Theravada, Theriya, atau Therika (Tradisi Para Sesepuh). Theravada telah masuk di Sri Lanka pada abad III sebelum Masehi, yang pada waktu itu tidak dikenal sebutan Hinayana atau Mahayana. Kedua istilah ini tidak ditemukan dalam Kitab Pali maupun kitab sejarah Dipavamsa dan Mahavamsa. Bila kita sekarang mengenal penggolongan Theravada dan Mahayana, perlu dimengerti bahwa Theravada tidak sinonim dengan Hinayana, istilah yang muncul di India kemudian. Sekarang ini tidak ada lagi aliran Hinayana yang berbentuk sebagai kumpulan umat.
Buddha mengajar dengan banyak cara (termasuk tahapan) dan dengan berbagai alasan (upaya-kausalya).  "Kemudian Tathagata memperhatikan kapasitas dari para makhluk, yang cerdas atau pun yang bodoh, yang rajin berusaha atau pun malas. Sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. la mengkhotbahkan Dharma kepada mereka dengan bermacam-macam cara yang tak terbatas, sehingga hal ini menyebabkan mereka gembira dan dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya." Air hujan yang sama jatuh berasal dari awan, hanya tumbuh-tumbuhan yang berbagai ragam menjadi basah menurut porsinya, banyak atau sedikit sesuai dengan kebutuhan, dan masing-masing dapat tumbuh berkembang. Bandingkan bagaimana cara Buddha menuntun murid-murid-Nya, seperti Ananda, Culapanthaka, Moggallana, atau Maha Kassapa. Lalu, cucu murid-Nya yang tidak pandai menghafal bisa tidak cocok dengan guru seperti Ananda. Lain halnya kalau ia mendapatkan guru seperti Culapanthaka. Kita bisa menemukan banyak contoh lain seperti ini. Buddha dapat dibandingkan sebagai orang yang menyediakan makanan prasmanan bagi kita, dan kita bebas untuk memilih makanan yang cocok untuk kita; Buddha tidak menyediakan nasi kotak yang isi dan banyaknya sama untuk setiap orang.
Menurut Saddharmapundarika sutra, sekalipun banyak metode, Buddha Gotama (bahkan semua Buddha) mengajarkan Hukum Kebenaran yang sama. la menunjukkan Jalan Agung dengan ajaran tiga wahana (triyana), yaitu Sravakayana,  Pratyekabuddhayana dan Bodhisattvayana. "Seluruh Hukum Kebenaran itu hanya bagi Satu Kendaraan (ekayana), yaitu Buddhayana, sehingga para makhluk yang telah menerima Hukum dari para Buddha tersebut akhirnya dapat memperoleh Penerangan Sempurna". Mengikuti Jalan Bodhisatwa untuk menjadi Samyak Sambuddha adalah tujuan tertinggi dan terluhur dalam usaha bagi kebebasan yang lain. Tetapi tiga macam Penerangan Sempurna tersebut berada dalam jalan yang sama.
Samdhinirrnovacana-sutra menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa mereka yang mengikuti garis Sravakayana, atau Pratyekabuddhayana, atau garis para Tathagata (Mahayana) mencapai nirwana dengan jalan yang sama. Untuk mereka semua hanya ada satu Jalan Kesucian (Visuddhi magga) dan satu Kesucian (Visuddhi), tidak ada yang kedua. Sravakayana dan Mahayana disebutkan sebagai satu kendaraan, satu yana (ekayana). Dewasa ini kita menemukan banyak aliran yang mengklaim dirinya sebagai ajaran Buddha yang benar. Kebenaran memang harus diuji, salah satunya adalah merujuk pada Kitab Suci dan mengenali nilai-nilai dasar dari doktrin dalam praktiknya sesuai dengan prinsip ajaran Buddha. Buddha bersabda, "Sebagaimana halnya dengan samudera raya yang hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa garam, demikian pula Dharma hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa pembebasan.

B.     Konsep Buddhayana
Buddhayana identitik dengan ekayana, terminology teknis yang dipakai untuk merujuk dan merangkum pandangan, aliran ajaran, atau pun pengertian agama Buddha secara keseluruahan, yang menegaskan bahwa dhamma atau kebenaran hanya satu. Hal ini untuk mengikis kekeliruan pandangan bahwa ada banyak aliran yang menunjukkan kebenaran yang berlainan. Dalam buddhayana keanekaragaman dan adaptai bukan perbedaan atau pemecah belahan, melainkan adalah bagian intergral dari ekayana, Buddhayana bukan suatu sekte melainkan suatu agama Buddha.
Buddhayana bertujuan mencapai suatu perpaduan antara intisari ajaran dengan pola hidup dan kebudayaan seseorang. Buddhayana menolak sikap sectarian, yang tidak memiliki toleransi terhadap ajaran dan praktik dari berbagai aliran di dalam agama Buddha dari aliran sendiri. Kelemahan sectarian jelas, membatasi wawasan, mempertebal egoisme, menimbulkan kebencian, yang tentu saja akan merintangi kemajuan spiritual.
Buddhayana telah berkembang sejak jaman Wangsa Syailendra dimana tertulis dalam Negarakretabhumi karya pangeran Wangsakerta. Candi borobudur yang dibangun Wangsa Syailendra mencerminkan bagaimana ajaran Theravada, Mahayana dan Wajrayana menyatu secara harmonis. Apabila setiap hari mengingat baik-baik apa yang dibicarakan di atas, kita akan semakin dan banyak memperoleh ketenangan dan kedamaian batin. seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para siswanya. Konsep Buddhayana hanya bertujuan untuk memperlihatkan pentingnya menghindari pengelompokan, sektarianisme, dan bentuk-bentuk perpecahan yang serupa.
Kekuatan Buddhayana terletak dalam semangat persatuan. Dalam sejarah orang Barat terdapat istilah "menyebar dan kuasailah". Hal itu me-rupakan ketamakan, kebencian, dan kebodohan yang menguasai kita, karena ketiga hal itulah pandangan dan batin kita terganggu; dan memecah belah kita dalam keengganan, iri hati, kebencian, cemburu, dan banyak pula kondisi mental yang tidak baik lainnya, sehingga kita kehilangan pandangan benar dan tidak dapat melihat Kesunyataan lagi.

C.    Terminologi Buddhayana Universal
Dengan makin sempitnya dunia sebagai akibat arus globalisasi, maka saling hubungan antar aliran pun akan semakin terjadi. Lebih-lebih setelah terbentuknya WFB (World Fellowship of Buddhist) pada tahun 1950 dan WBSC (World Buddhist Sangha Council) pada tahun 1966.
Sesuai dengan sifat Buddhis dan juga karena memiliki inti ajaran dan tujuan yang sama, maka kecenderungan bersatunya kembali aliran agama Buddha akan terus meningkat. Akan terlihatlah oleh mereka yang berwawasan luas, bahwa sesungguhnya ketiga aliran agama Buddha (Theravada, Mahayana, dan Vajrayana) adalah saling melengkapi. "The Third Annual International Buddhist Seminar" yang berlangsung di New York pada tanggal 9 Maret 1974, mencetuskan gagasan untuk mempertautkan semua aliran agama Buddha di bawah nama Ekayana atau Buddhayana.
Buddhayana adalah terminologi teknis yang dipakai untuk merujuk dan merangkum pandangan, aliran ajaran, ataupun pengertian agama Buddha secara keseluruhan. Dengan demikian setara dengan agama Buddha itu sendiri. Seperti yang dapat dilihat dari pengertian-pengertian awal maupun belakangan yang mengacu kepada istilah ini, terminologi Buddhayana dipakai untuk mengikis kekeliruan pandangan bahwa agama Buddha seolah-olah terpecah dalam sekian banyak aliran ajaran yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, serta mencerminkan kebenaran yang berlainan. Oleh karena itu, selain Buddhayana dikenal pula Ekayana. Dari pengertian ini dapat kita lihat dengan jelas bahwa Buddhayana ataupun Ekayana bukan merupakan sekte baru dalam lingkungan agama Buddha manapun di dunia ini, termasuk di Indonesia.
Dr. Ananda W.P. Guruge (Srilanka) dalam ceramahnya yang berjudul "Universal Buddhism", menyatakan: Saya meramalkan timbulnya kecenderungan-kecenderungan baru dalam agama Buddha di Barat. Interaksi yang rapat dari berbagai aliran yang berbeda akan berakibat saling mempengaruhi. Pakar-pakar Barat telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama Buddha yang menggabungkan ketiga tradisi dari Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Kita mendengar istilah-istilah Triyana (ketiga jalan) dan Buddhayana (jalan Sang Buddha) sebagai nama untuk bentuk gabungan dari agama Buddha.
Beberapa tragedi telah menyebabkan apa yang dengan tepat dapat disebut Buddhist Diaspora. Dengan jatuhnya China nasionalis, banyak ahli-ahli dan pemimpin-pemimpin agama pindah ke Hongkong, Taiwan dan bagian-bagian lain dari dunia ini, khususnya Asia dan Amerika Utara. Pembuangan diri Yang Mulia Dalai Lama mengakibatkan terpencarnya kekuatan dan sumber agama Buddha Tibet ke seluruh dunia. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa tradisi agama Buddha yang paling bergema di dunia internasional sekarang ini adalah agama Buddha Tibet. Beberapa puluh tahun kemudian pelarian besar-besaran dari Indo China mengakibatkan banyak berdirinya lembaga-lembaga Buddhist di Eropa dan Amerika. Sekarang ini mereka yang hidup di kota–kota besar di Eropa mempunyai kesempatan yanag mudah untuk berhubungan dengan semua tradisi agama Buddha. Hampir tidak ada mazhab yang tidak ada. Jenis aliran baru yang masuk bergantung pada usaha–usaha Dharmaduta pada seperempat abad pertama ini yang memusatkan diri pada agama Buddha Theravada dan agama Buddha Zen. Umat Buddha perlu untuk menggali lebih dalam dan mendapatkan apa yang menjadi persatuan dan kesatuan dalam agama Buddha, berhubungan dengan berbagai bentuk agama Buddha dan dengan ahli-ahli yang mampu dan bersimpati untuk melakukan kajian perbandingan yang mendalam.
Dunia Barat pada saat ini merupakan labotarium terbaik yang ada untuk kajian agama Buddha yang mendetail. Adalah penting bagi untuk mempergunakan dengan sebaik-baiknya kesempatan yang diberikan karena umat buddha masih harus menerangi banyak ketidaktahuan dan buruk sangka. Kenyataan yang menyedihkan tetapi benar, bahwa kebanyakan umat Buddha, teristimewa mereka yang berasal dari negara-negara yang secara tradisional adalah Buddhist terus bersikap menyendiri. Keanekaragaman agama Buddha adalah akibat dari ciri unik Sang Buddha. Sikapnya sebagai seorang guru sangatlah longgar (liberal). Beliau menginginkan orang-orang berpikir untuk dirinya masing-masing, Beliau mendorong untuk melakukan penyelidikan dan pengujian yang kritis. Salah satu sebutan yang Beliau berikan kepada ajaran-Nya adalah bahwa ajaran-Nya terbuka bagi siapa saja untuk datang dan memeriksanya.
Sang Buddha melarang gagasan tentang dogma. Masing-masing telah mewarisi bentuk agama Buddha yang berkembang di negara-negara tertentu sebagai jawaban atas tuntutan-tuntutan dan pengaruh-pengaruh filosofis, sosial dan keagamaan. Guru-guru perintis yang membawa agama Buddha ke negara kita tidak memaksakan pergantian agama semua gagasan-gagasan dan praktek-praktek agama lainnya itu terhisap kedalam agama Buddha. Apabila seseorang mencoba memurnikan agama Buddha dengan apa yang telah terhisap itu, maka hanya mencoba melakukan sesuatu yang sulit tak berguna. Sulit karena tidak akan pernah sepakat mengenai apa itu agama Buddha murni. Tidak berguna karena agama Buddha adalah cara hidup, dan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip-Nya tidaklah mengharuskan harus sesuai dengan ajaran-ajaran dasar yang sangat kaku.
Sang Buddha sendiri prakmatis. Beliau menekankan mengetahui sedikit ajaran tetapi mengamalkannya dengan intensif. Beliau juga menegaskan bahwa ajaran itu hanyalah alat untuk dipakai bila diperlukan dan ditinggalkan ketika tujuan telah dicapai. Perumpamaan Beliau mengenai rakit megibaratkan seseorang berpegang pada ajaran sebagai seseorang yang membawa rakit diatas kepalanya sesudah menyeberangi sungai. Umat di seluruh dunia mengakui bahwa tidak alasan apapun bagi mereka untuk memperdebatkan apa yang benar dan yang tidak benar, apa yang lebih dulu apa yang belakangan, apa yang ortodoks (kolot) atau yang tidak. Pengakuan ini berasal dari kenyataan bahwa setiap mazhab agama Buddha telah memelihara batang tubuh ajaran yang langsung dari Sang Buddha dan tetap tidak berubah.
Perbedaan-perbedaan yang ada terletak pada hiasan-hiasan luar, penekanan dan terkadang penafsiran-penafsiran. Tapi dasar agama Buddha tetap satu. Khotbah yang diberikan oleh Lama Yehse tentang inti ajaran dari agama Buddha. Beliau menguraikan satu persatu Empat Kebenaran Mulia; tiga ciri keberadaan, yaitu Anicca, Dukkha, dan Anatta; dua belas faktor yang saling bergantungan (Paticca Samuppada); aturan dasar etika Buddhist; dan konsep Nibbana. Beliau berbicara berdasarkan agama Buddha Tibet. "Jangan dilihat perbedaan-perbedaannya tetapi lihatlah dasar persamaannya saja yang merupakan ajaran-ajaran Sang Buddha sendiri". Semakin dalam seseorang melakukan kajian perbandingan mengenai mazhab-mazhab yang berbeda dari agama Buddha, ia akan semakin gembira mendapatkan kesatuan agama yang agung ini, kita dapat melihat arti dan pentingnya perbedaan-perbedaan tersebut.
Kebutuhan manusia akan agama adalah banyak dan berlainan. Perbedaan ini sesuai dengan perkembangan intelektual dan latar belakang sosial seseorang. Batin yang sangat berkembang memperoleh kepuasan hanya dalam meditasi dan pengalaman-pengalaman mental yang makin bertambah rumit seperti Jhana. Orang yang berorientasi pada intelektual mencari kesenangan dalam kajian dan perenungan. Bagi mereka yang lain-lainnya, berbagai masalah sehari-hari dan kecemasan yang mengikat perhatiannya, mereka mencari penghiburan dari agama. Penghiburan ini mereka harapkan dengan usaha seminimal mungkin. Agama Buddha, sebagaimana kita lihat di sekitar kita, memenuhi setiap kebutuhan sesuai dengan standar dan kriterianya sendiri. Sangatlah luar biasa bila satu agama dapat bekembang memenuhi setiap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Tidaklah mengherankan bila orang memilih bentuk-bentuk yang berbeda dari agama Buddha sebagai kesukaannya, karena masing-masing dari mereka melakukannya sesuai dengan keadaan dan kebutuhan khususnya. Semakin kita mengakui kenyataan ini, semakin kita mengakui kebijaksanaan nenek moyang kita yang mengijinkan agama Buddha menjadi begitu beraneka ragam. Tetapi semakin kita bertambah dekat dan mulai banyak berhubungan langsung, kita melihat kebutuhan akan beberapa lambang kesatuan diantara mazhab yang berbeda dari agama Buddha.
Sejak tiga puluh enam tahun terakhir ini, banyak kemajuan yang telah kita capai ke arah itu. Pada pertemuan pertama World Fellowship of Buddhist tahun 1950, telah diambil sejumlah keputusan, diantaranya : Menerima secara umum keenam warna bendera Buddhist, Pengakuan dan perayaan Waisak secara umum, dan Penerimaan perumusan Pali mengenai Tisarana dan Pancasila. Ahli-ahli Barat telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama yang menggabungkan ketiga tradisi dari Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Kita mendengar istilah-istilah seperti Triyana (Ketiga jalan) dan Buddhayana (Jalan Buddha).


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Buddhayana adalah terminology teknis yang dipakai untuk merujuk dan merangkum pandangan, aliran ajaran, atau pun pengertian agama Buddha secara keseluruhan. Dengan demikian setara dengan Agama Buddha itu sendiri, seperti yang dapat dilihat dari pengertian-pengertian awal maupun belakangan yang mengacu pada istilah tentang terminologi ini.
Terminologi Buddhayana ini dipakai untuk mengikis kekeliruan pandangan bahwa Agama Buddha seolah-olah terpecah dalm sekian banyak aliran ajaran yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, serta mencerminkan kenaran yang berlainan. Buddhayana ini juga dikenal dengan nama Ekayana yang merupakan sutu kesatuan dari beberapa aliran dalam agama Buddha yang berkembang menuju pada Agama Buddha yang harmonis.

Daftar Referensi

Digha Nikaya (Dalogue Of The Buddha) Vol.II. Translated by Davids, Rhys. 1977. London: The Pali Text Society.
Digha Nikaya (Dalogue Of The Buddha) Vol.III. Translated by Davids, Rhys. 1977. London: The Pali Text Society.
Majjhima Nikaya (The Middle Length Saying) Vol.II. Translated by Horner, I.B.1989. London: The Pali Text Society.
Vinaya Pitaka (The Book Of Dicipline Vol. II. Translated by Horner, I.B.1982. London: The Pali Text Society.
Mukti Wijaya K. 2001. Buddhayana Tinjaun Skolastik. Jakarta: Yayasan Dian Dharma
…………………., 1995. Memahami Buddhayana. Bandung: Yayasan Karaniya




STUDI TENTANG SKOLASTIK BUDDHAYANA



STUDI TENTANG SKOLASTIK BUDDHAYANA

Disusun Untuk Mememuhi Salah Satu Tugas Individu
Mata Kuliah Filsafat Buddha II


Dosen Pengampu:
Sutikyanto Sasana Bodhi, S.Ag, M.Hum












SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA BUDDHA
STIAB ”SMARATUNGGA”
BOYOLALI
2009

KATA  PENGANTAR

Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Namo Buddhaya
Dengan puja dan puji syukur kepada Sanghyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha  Esa, Sang Triratna, para Buddha, Bodhisatva dan Mahasatva, atas pancaran kasih sayangnya yang telah di limpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Setudi Tentang Skolastik Buddhayana“. 
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak antara lain:      
1.      Sutikyanto Sasana Bodhi, S.Ag, M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Buddha II, yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam pembuatan makalah ini.
2.      Rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang telah membantu terselesainya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, dikerenaan keterbatasan pola pikir penulis baik sarana maupun prasarana, tetapi tidak menjadi suatu masalah dan penghalang serta beban untuk penyusunan makalah ini. Maka dari itu sangat bermanfaat apabila berbagai pihak berkenan untuk memberikan saran dan kritiknya yang bersifat membangun.
Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi lembaga pendidikan pada  khususnya maupun masyarakat  pada umumnya .

Semoga Semua Mahluk Berbahagia
Sadhu... sadhu...sadhu...

                                                                                                
                                                                                           Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
BAB II SKOLASTIK BUDDHAYANA
A. Penelusuran Kitab Suci....................................................................... ....... 3
B. Konsep Buddhayana.................................................................................. 6
C. Terminologi Buddhayana Universal........................................................... 7
BAB III PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................................. 12

DAFTAR REFERENSI


BAB I
PENGANTAR
A.    Latar Belakang
Agama Buddha yang kini bermanifestasi ke seluruh dunia, terdiri dari berbagai aliran yang bentuk lahiriahnya sangat berbeda antara satu dengan yang lain; tentunya perbedaan-perbedaan itu memiliki segi positif tetapi juga mempunyai segi negatif. Alangkah baiknya jika umat juga mengetahui berbagai cara untuk melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan mereka sehari-hari, karena hal ini dapat memberikan dorongan yang kuat untuk me­laksanakan ajaran tersebut dengan lebih baik lagi, terutama karena banyak segi penting yang belum dikenal.
Ajaran Sang Buddha telah tersebar luas ke seluruh Asia, dan di setiap negara telah berintegrasi (bersatu) sesuai dengan pola kehidupan dan kebudayaan di daerah masing-masing. Inilah sebabnya, mengapa kita berhadapan dengan sedemikian banyak corak agama Buddha yang secara lahiriah khususnya, nampak sangat berbeda.
Ajaran Sang Buddha kadang-kadang juga disebut Ajaran Damai. Tak pernah ada perang untuk agama atau demi ajarannya, tetapi tentu saja ada kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Akan tetapi hal itu sangat jarang terjadi sehingga bisa diabaikan jumlahnya bila dibandingkan dengan sejarah yang terjadi di negara-negara Barat. Salah satu segi yang terpenting dalam ajaran ini ialah Cinta Kasih, suatu prinsip utama dalam mewujudkan ini adalah bertoleransi terhadap semua yang hidup dan terhadap pendapat orang lain. Umat Buddha di Asia belum pernah melibatkan diri dalam peperangan dengan alasan demi agama, biasanya mereka mengalah (seperti di India). Juga merupakan suatu fakta bahwa di Asia sedikit pun tidak dianggap aneh jika ada orang yang menganut agama yang berbeda.
Segi pokok yang lain adalah Kasih Sayang (Karuna), suatu prinsip yang terdapat pada setiap aliran. Kasih Sayang bagi mereka yang masih dikuasai oleh Tiga Akar Kejahatan yaitu Keserakahan (lobha), Kebencian (dosa), dan Kebodohan/Ketidaktahuan (moha). Sektarianisme atau semangat meluap-luap untuk membela aliran masing-masing adalah suatu bentuk kebodohan. Pada masa ini, "peradaban" Barat makin meluas pengaruhnya di seluruh dunia. Dalam beberapa hal kita dapat menyebutnya "peradaban", karena memberikan 'perbaikan bagi penghuni-penghuni lain di planet kecil ini, yang karena kebersamaan kita di planet ini seharusnya kita merasakan suatu pertalian yang erat. Tetapi dalam masalah-masalah lain lebih baik tidak memakai istilah "peradaban", karena pengaruh atau lebih tepat campur-tangan ini, disertai oleh penyebaran latar belakang kebudayaan Barat.
Suatu akibat yang terjadi dengan wajar, jika sekarang ini filsafat-filsafat Timur sedang merembes ke Barat, dan orang Barat mulai cemas akan "campur-tangan" ini dan merasa perlu untuk "menjaga kebudayaan Barat", itu menunjukkan bekerjanya Hukum Sebab dan Akibat.
Apa yang telah disebutkan di atas akan dapat menambah sedikit keterangan pada sukanya generasi baru umat Buddha di Barat yang tidak hanya sekedar tumbuh untuk sementara, tetapi yang benar-benar dapat membantu terus perkembangan agama Buddha. Sumbangan pertama yang dapat diberikan agama Buddha kepada kebudayaan bangsa adalah suatu pendirian non-sektarianisme (tanpa semangat yang meluap-luap untuk membela aliran masing-masing) suatu sikap untuk keselarasan dan kerukunan bersama. Inilah yang sesungguhnya kita butuhkan, dan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat berharga.
Dalam hal ini yang penulis bahas adalah tentang skolastik buddhayana. "Buddhayana", Jalan atau Kendaraan Sang Buddha, adalah sebuah nama yang digunakan untuk menunjukkan intisari ajaran, yang sebenarnya berdiri sendiri, terpisah dari aliran kebudayaan yang mana pun yang telah berkembang sepanjang sejarah. Ini bukanlah penciptaan suatu "yana" baru atau "tri-yana". Tujuannya ialah untuk mencapai suatu perpaduan antara intisari ajaran dengan pola hidup dan kebudayaan seseorang, seperti yang telah terjadi di negara-negara Buddhis; dan kini juga terjadi di Indonesia.

BAB II
SKOLASTIK BUDDHAYANA

A.    Penelusuran Kitab Suci
Terdapat dua versi Kitab Suci Tripitaka. Yang satu bersumber pada bahasa Pali, dan yang lain bersumber pada bahasa Sansekerta. Dalam hal ini Tripitaka tidak memiliki bukti konkrit mengenai bahasa apa yang dipakai oleh Buddha Gotama. Buddha menggunakan lebih dari satu bahasa/dialek. Dalam Aranavibhanga sutta Sang Buddha memberikan nasehat kepada para bhikku untuk menyesuaikan diri dengan bahasa-bahasa lokal tempat mereka membabarkan ajaran (M. II, 234). Menurut Kinti sutta, orang seharusnya lebih memperhatikan makna dan jiwa daripada hanya kata-kata (M. II, 239). Karena itu Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk mempelajari ajaran Buddha dalam bahasa masing-masing (Vin. II, 139).
Penemuan dan penelitian atas sisa-sisa naskah Buddhis kuno seperti Udanavarga dan Dharmapada Gandhari, membuktikan bahwa naskah-naskah ini bukan merupakan terjemahan dari Kitab Suci Pali. Sebuah riset telah mengungkapkan bahwa baik Kitab Suci Pali maupun Sansekerta dapat ditelusuri ke asal yang sama. Empat dari lima Kitab Nikaya Pali dapat ditemukan padanannya pada empat Kitab Agama Sansekerta: Kitab Suci Pali yang dikenal sekarang ini berasal dari penulisan di Sri Lanka. Berdasarkan penelitian linguistik, sekalipun mirip, kitab suci itu bukan yang disusun dalam Konsili Ketiga.
Penyusunan Kitab Suci dimulai pada Konsili Pertama, tiga bulan setelah Buddha parinibhana. Peserta Konsili 500 orang, sedangkan jumlah Arahat jauh lebih banyak dari itu (pada peristiwa Magha Puja, tercatat 1250 Arahat). Menurut Kitab Suci sendiri, Purana yang kembali dari daerah selatan sesudah berakhirnya Konsili, memilih berbeda pendapat dengan hasil Konsili, mengingat Dharma miliknya sendiri yang telah ia terima langsung dari Buddha (Vin. 11, 290).
Bisa dimengerti kalau terdapat sejumlah ajaran Buddha yang autentik, yang tidak terkumpul dalam Konsili Pertama. Dan menjadi cukup beralasan, lewat tradisi oral yang panjang, sampai kemudian dituliskan, keranjang Kitab Suci terbuka untuk dimasukkan naskah-naskah lain di kemudian hari. Dalam Kitab Suci dimasukkan pula khotbah-khotbah para siswa utama, seperti Sariputra, Moggallana, Ananda, yang dipandang kalau diberikan oleh Buddha sendiri akan sama isinya, sehingga dihargai seperti sabda Buddha.
Buddha memberi petunjuk empat pengujian otoritas, tentang apa yang dinyatakan oleh seseorang diterima langsung dari Buddha, atau dari Sangha, atau dari beberapa biku senior, atau dari satu biku senior, yang harus sesuai dengan Sutta dan Vinaya (D. II, 123-125). Watak yang demokratis dan menghargai pluralisme, ditunjukkan oleh Buddha antara lain dalam pesan kepada Cunda, agar berkelompok mempelajari semua-ajaran bersama, dan tidak mempertengkarkannya (D. Ill, 127). Buddha mengajarkan bahwa bagi orang yang pandai tidaklah cukup melindungi kebenaran dengan membuat kesimpulan: hanya ini saja yang benar dan lainnya adalah keliru (M. II, 171). Sebagai agama yang universal, ajaran Buddha tidak bersifat eksklusif.
Di zaman Buddha tidak terdapat penggolongan Theravada, Mahayana, atau Tantrayana. Dari kitab sejarah Dipavamsa (abad IV M.), Mahavamsa (abad V M.) dan Samantapasadika (Komentar Vinaya) diketahui bahwa istilah Theravada pertama kali dikenal setalah Konsili Pertama. Apa yang diterima dalam Konsili itu disebut Theravada, Theriya, atau Therika (Tradisi Para Sesepuh). Theravada telah masuk di Sri Lanka pada abad III sebelum Masehi, yang pada waktu itu tidak dikenal sebutan Hinayana atau Mahayana. Kedua istilah ini tidak ditemukan dalam Kitab Pali maupun kitab sejarah Dipavamsa dan Mahavamsa. Bila kita sekarang mengenal penggolongan Theravada dan Mahayana, perlu dimengerti bahwa Theravada tidak sinonim dengan Hinayana, istilah yang muncul di India kemudian. Sekarang ini tidak ada lagi aliran Hinayana yang berbentuk sebagai kumpulan umat.
Buddha mengajar dengan banyak cara (termasuk tahapan) dan dengan berbagai alasan (upaya-kausalya).  "Kemudian Tathagata memperhatikan kapasitas dari para makhluk, yang cerdas atau pun yang bodoh, yang rajin berusaha atau pun malas. Sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. la mengkhotbahkan Dharma kepada mereka dengan bermacam-macam cara yang tak terbatas, sehingga hal ini menyebabkan mereka gembira dan dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya." Air hujan yang sama jatuh berasal dari awan, hanya tumbuh-tumbuhan yang berbagai ragam menjadi basah menurut porsinya, banyak atau sedikit sesuai dengan kebutuhan, dan masing-masing dapat tumbuh berkembang. Bandingkan bagaimana cara Buddha menuntun murid-murid-Nya, seperti Ananda, Culapanthaka, Moggallana, atau Maha Kassapa. Lalu, cucu murid-Nya yang tidak pandai menghafal bisa tidak cocok dengan guru seperti Ananda. Lain halnya kalau ia mendapatkan guru seperti Culapanthaka. Kita bisa menemukan banyak contoh lain seperti ini. Buddha dapat dibandingkan sebagai orang yang menyediakan makanan prasmanan bagi kita, dan kita bebas untuk memilih makanan yang cocok untuk kita; Buddha tidak menyediakan nasi kotak yang isi dan banyaknya sama untuk setiap orang.
Menurut Saddharmapundarika sutra, sekalipun banyak metode, Buddha Gotama (bahkan semua Buddha) mengajarkan Hukum Kebenaran yang sama. la menunjukkan Jalan Agung dengan ajaran tiga wahana (triyana), yaitu Sravakayana,  Pratyekabuddhayana dan Bodhisattvayana. "Seluruh Hukum Kebenaran itu hanya bagi Satu Kendaraan (ekayana), yaitu Buddhayana, sehingga para makhluk yang telah menerima Hukum dari para Buddha tersebut akhirnya dapat memperoleh Penerangan Sempurna". Mengikuti Jalan Bodhisatwa untuk menjadi Samyak Sambuddha adalah tujuan tertinggi dan terluhur dalam usaha bagi kebebasan yang lain. Tetapi tiga macam Penerangan Sempurna tersebut berada dalam jalan yang sama.
Samdhinirrnovacana-sutra menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa mereka yang mengikuti garis Sravakayana, atau Pratyekabuddhayana, atau garis para Tathagata (Mahayana) mencapai nirwana dengan jalan yang sama. Untuk mereka semua hanya ada satu Jalan Kesucian (Visuddhi magga) dan satu Kesucian (Visuddhi), tidak ada yang kedua. Sravakayana dan Mahayana disebutkan sebagai satu kendaraan, satu yana (ekayana). Dewasa ini kita menemukan banyak aliran yang mengklaim dirinya sebagai ajaran Buddha yang benar. Kebenaran memang harus diuji, salah satunya adalah merujuk pada Kitab Suci dan mengenali nilai-nilai dasar dari doktrin dalam praktiknya sesuai dengan prinsip ajaran Buddha. Buddha bersabda, "Sebagaimana halnya dengan samudera raya yang hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa garam, demikian pula Dharma hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa pembebasan.

B.     Konsep Buddhayana
Buddhayana identitik dengan ekayana, terminology teknis yang dipakai untuk merujuk dan merangkum pandangan, aliran ajaran, atau pun pengertian agama Buddha secara keseluruahan, yang menegaskan bahwa dhamma atau kebenaran hanya satu. Hal ini untuk mengikis kekeliruan pandangan bahwa ada banyak aliran yang menunjukkan kebenaran yang berlainan. Dalam buddhayana keanekaragaman dan adaptai bukan perbedaan atau pemecah belahan, melainkan adalah bagian intergral dari ekayana, Buddhayana bukan suatu sekte melainkan suatu agama Buddha.
Buddhayana bertujuan mencapai suatu perpaduan antara intisari ajaran dengan pola hidup dan kebudayaan seseorang. Buddhayana menolak sikap sectarian, yang tidak memiliki toleransi terhadap ajaran dan praktik dari berbagai aliran di dalam agama Buddha dari aliran sendiri. Kelemahan sectarian jelas, membatasi wawasan, mempertebal egoisme, menimbulkan kebencian, yang tentu saja akan merintangi kemajuan spiritual.
Buddhayana telah berkembang sejak jaman Wangsa Syailendra dimana tertulis dalam Negarakretabhumi karya pangeran Wangsakerta. Candi borobudur yang dibangun Wangsa Syailendra mencerminkan bagaimana ajaran Theravada, Mahayana dan Wajrayana menyatu secara harmonis. Apabila setiap hari mengingat baik-baik apa yang dibicarakan di atas, kita akan semakin dan banyak memperoleh ketenangan dan kedamaian batin. seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para siswanya. Konsep Buddhayana hanya bertujuan untuk memperlihatkan pentingnya menghindari pengelompokan, sektarianisme, dan bentuk-bentuk perpecahan yang serupa.
Kekuatan Buddhayana terletak dalam semangat persatuan. Dalam sejarah orang Barat terdapat istilah "menyebar dan kuasailah". Hal itu me-rupakan ketamakan, kebencian, dan kebodohan yang menguasai kita, karena ketiga hal itulah pandangan dan batin kita terganggu; dan memecah belah kita dalam keengganan, iri hati, kebencian, cemburu, dan banyak pula kondisi mental yang tidak baik lainnya, sehingga kita kehilangan pandangan benar dan tidak dapat melihat Kesunyataan lagi.

C.    Terminologi Buddhayana Universal
Dengan makin sempitnya dunia sebagai akibat arus globalisasi, maka saling hubungan antar aliran pun akan semakin terjadi. Lebih-lebih setelah terbentuknya WFB (World Fellowship of Buddhist) pada tahun 1950 dan WBSC (World Buddhist Sangha Council) pada tahun 1966.
Sesuai dengan sifat Buddhis dan juga karena memiliki inti ajaran dan tujuan yang sama, maka kecenderungan bersatunya kembali aliran agama Buddha akan terus meningkat. Akan terlihatlah oleh mereka yang berwawasan luas, bahwa sesungguhnya ketiga aliran agama Buddha (Theravada, Mahayana, dan Vajrayana) adalah saling melengkapi. "The Third Annual International Buddhist Seminar" yang berlangsung di New York pada tanggal 9 Maret 1974, mencetuskan gagasan untuk mempertautkan semua aliran agama Buddha di bawah nama Ekayana atau Buddhayana.
Buddhayana adalah terminologi teknis yang dipakai untuk merujuk dan merangkum pandangan, aliran ajaran, ataupun pengertian agama Buddha secara keseluruhan. Dengan demikian setara dengan agama Buddha itu sendiri. Seperti yang dapat dilihat dari pengertian-pengertian awal maupun belakangan yang mengacu kepada istilah ini, terminologi Buddhayana dipakai untuk mengikis kekeliruan pandangan bahwa agama Buddha seolah-olah terpecah dalam sekian banyak aliran ajaran yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, serta mencerminkan kebenaran yang berlainan. Oleh karena itu, selain Buddhayana dikenal pula Ekayana. Dari pengertian ini dapat kita lihat dengan jelas bahwa Buddhayana ataupun Ekayana bukan merupakan sekte baru dalam lingkungan agama Buddha manapun di dunia ini, termasuk di Indonesia.
Dr. Ananda W.P. Guruge (Srilanka) dalam ceramahnya yang berjudul "Universal Buddhism", menyatakan: Saya meramalkan timbulnya kecenderungan-kecenderungan baru dalam agama Buddha di Barat. Interaksi yang rapat dari berbagai aliran yang berbeda akan berakibat saling mempengaruhi. Pakar-pakar Barat telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama Buddha yang menggabungkan ketiga tradisi dari Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Kita mendengar istilah-istilah Triyana (ketiga jalan) dan Buddhayana (jalan Sang Buddha) sebagai nama untuk bentuk gabungan dari agama Buddha.
Beberapa tragedi telah menyebabkan apa yang dengan tepat dapat disebut Buddhist Diaspora. Dengan jatuhnya China nasionalis, banyak ahli-ahli dan pemimpin-pemimpin agama pindah ke Hongkong, Taiwan dan bagian-bagian lain dari dunia ini, khususnya Asia dan Amerika Utara. Pembuangan diri Yang Mulia Dalai Lama mengakibatkan terpencarnya kekuatan dan sumber agama Buddha Tibet ke seluruh dunia. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa tradisi agama Buddha yang paling bergema di dunia internasional sekarang ini adalah agama Buddha Tibet. Beberapa puluh tahun kemudian pelarian besar-besaran dari Indo China mengakibatkan banyak berdirinya lembaga-lembaga Buddhist di Eropa dan Amerika. Sekarang ini mereka yang hidup di kota–kota besar di Eropa mempunyai kesempatan yanag mudah untuk berhubungan dengan semua tradisi agama Buddha. Hampir tidak ada mazhab yang tidak ada. Jenis aliran baru yang masuk bergantung pada usaha–usaha Dharmaduta pada seperempat abad pertama ini yang memusatkan diri pada agama Buddha Theravada dan agama Buddha Zen. Umat Buddha perlu untuk menggali lebih dalam dan mendapatkan apa yang menjadi persatuan dan kesatuan dalam agama Buddha, berhubungan dengan berbagai bentuk agama Buddha dan dengan ahli-ahli yang mampu dan bersimpati untuk melakukan kajian perbandingan yang mendalam.
Dunia Barat pada saat ini merupakan labotarium terbaik yang ada untuk kajian agama Buddha yang mendetail. Adalah penting bagi untuk mempergunakan dengan sebaik-baiknya kesempatan yang diberikan karena umat buddha masih harus menerangi banyak ketidaktahuan dan buruk sangka. Kenyataan yang menyedihkan tetapi benar, bahwa kebanyakan umat Buddha, teristimewa mereka yang berasal dari negara-negara yang secara tradisional adalah Buddhist terus bersikap menyendiri. Keanekaragaman agama Buddha adalah akibat dari ciri unik Sang Buddha. Sikapnya sebagai seorang guru sangatlah longgar (liberal). Beliau menginginkan orang-orang berpikir untuk dirinya masing-masing, Beliau mendorong untuk melakukan penyelidikan dan pengujian yang kritis. Salah satu sebutan yang Beliau berikan kepada ajaran-Nya adalah bahwa ajaran-Nya terbuka bagi siapa saja untuk datang dan memeriksanya.
Sang Buddha melarang gagasan tentang dogma. Masing-masing telah mewarisi bentuk agama Buddha yang berkembang di negara-negara tertentu sebagai jawaban atas tuntutan-tuntutan dan pengaruh-pengaruh filosofis, sosial dan keagamaan. Guru-guru perintis yang membawa agama Buddha ke negara kita tidak memaksakan pergantian agama semua gagasan-gagasan dan praktek-praktek agama lainnya itu terhisap kedalam agama Buddha. Apabila seseorang mencoba memurnikan agama Buddha dengan apa yang telah terhisap itu, maka hanya mencoba melakukan sesuatu yang sulit tak berguna. Sulit karena tidak akan pernah sepakat mengenai apa itu agama Buddha murni. Tidak berguna karena agama Buddha adalah cara hidup, dan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip-Nya tidaklah mengharuskan harus sesuai dengan ajaran-ajaran dasar yang sangat kaku.
Sang Buddha sendiri prakmatis. Beliau menekankan mengetahui sedikit ajaran tetapi mengamalkannya dengan intensif. Beliau juga menegaskan bahwa ajaran itu hanyalah alat untuk dipakai bila diperlukan dan ditinggalkan ketika tujuan telah dicapai. Perumpamaan Beliau mengenai rakit megibaratkan seseorang berpegang pada ajaran sebagai seseorang yang membawa rakit diatas kepalanya sesudah menyeberangi sungai. Umat di seluruh dunia mengakui bahwa tidak alasan apapun bagi mereka untuk memperdebatkan apa yang benar dan yang tidak benar, apa yang lebih dulu apa yang belakangan, apa yang ortodoks (kolot) atau yang tidak. Pengakuan ini berasal dari kenyataan bahwa setiap mazhab agama Buddha telah memelihara batang tubuh ajaran yang langsung dari Sang Buddha dan tetap tidak berubah.
Perbedaan-perbedaan yang ada terletak pada hiasan-hiasan luar, penekanan dan terkadang penafsiran-penafsiran. Tapi dasar agama Buddha tetap satu. Khotbah yang diberikan oleh Lama Yehse tentang inti ajaran dari agama Buddha. Beliau menguraikan satu persatu Empat Kebenaran Mulia; tiga ciri keberadaan, yaitu Anicca, Dukkha, dan Anatta; dua belas faktor yang saling bergantungan (Paticca Samuppada); aturan dasar etika Buddhist; dan konsep Nibbana. Beliau berbicara berdasarkan agama Buddha Tibet. "Jangan dilihat perbedaan-perbedaannya tetapi lihatlah dasar persamaannya saja yang merupakan ajaran-ajaran Sang Buddha sendiri". Semakin dalam seseorang melakukan kajian perbandingan mengenai mazhab-mazhab yang berbeda dari agama Buddha, ia akan semakin gembira mendapatkan kesatuan agama yang agung ini, kita dapat melihat arti dan pentingnya perbedaan-perbedaan tersebut.
Kebutuhan manusia akan agama adalah banyak dan berlainan. Perbedaan ini sesuai dengan perkembangan intelektual dan latar belakang sosial seseorang. Batin yang sangat berkembang memperoleh kepuasan hanya dalam meditasi dan pengalaman-pengalaman mental yang makin bertambah rumit seperti Jhana. Orang yang berorientasi pada intelektual mencari kesenangan dalam kajian dan perenungan. Bagi mereka yang lain-lainnya, berbagai masalah sehari-hari dan kecemasan yang mengikat perhatiannya, mereka mencari penghiburan dari agama. Penghiburan ini mereka harapkan dengan usaha seminimal mungkin. Agama Buddha, sebagaimana kita lihat di sekitar kita, memenuhi setiap kebutuhan sesuai dengan standar dan kriterianya sendiri. Sangatlah luar biasa bila satu agama dapat bekembang memenuhi setiap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Tidaklah mengherankan bila orang memilih bentuk-bentuk yang berbeda dari agama Buddha sebagai kesukaannya, karena masing-masing dari mereka melakukannya sesuai dengan keadaan dan kebutuhan khususnya. Semakin kita mengakui kenyataan ini, semakin kita mengakui kebijaksanaan nenek moyang kita yang mengijinkan agama Buddha menjadi begitu beraneka ragam. Tetapi semakin kita bertambah dekat dan mulai banyak berhubungan langsung, kita melihat kebutuhan akan beberapa lambang kesatuan diantara mazhab yang berbeda dari agama Buddha.
Sejak tiga puluh enam tahun terakhir ini, banyak kemajuan yang telah kita capai ke arah itu. Pada pertemuan pertama World Fellowship of Buddhist tahun 1950, telah diambil sejumlah keputusan, diantaranya : Menerima secara umum keenam warna bendera Buddhist, Pengakuan dan perayaan Waisak secara umum, dan Penerimaan perumusan Pali mengenai Tisarana dan Pancasila. Ahli-ahli Barat telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama yang menggabungkan ketiga tradisi dari Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Kita mendengar istilah-istilah seperti Triyana (Ketiga jalan) dan Buddhayana (Jalan Buddha).


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Buddhayana adalah terminology teknis yang dipakai untuk merujuk dan merangkum pandangan, aliran ajaran, atau pun pengertian agama Buddha secara keseluruhan. Dengan demikian setara dengan Agama Buddha itu sendiri, seperti yang dapat dilihat dari pengertian-pengertian awal maupun belakangan yang mengacu pada istilah tentang terminologi ini.
Terminologi Buddhayana ini dipakai untuk mengikis kekeliruan pandangan bahwa Agama Buddha seolah-olah terpecah dalm sekian banyak aliran ajaran yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, serta mencerminkan kenaran yang berlainan. Buddhayana ini juga dikenal dengan nama Ekayana yang merupakan sutu kesatuan dari beberapa aliran dalam agama Buddha yang berkembang menuju pada Agama Buddha yang harmonis.

Daftar Referensi

Digha Nikaya (Dalogue Of The Buddha) Vol.II. Translated by Davids, Rhys. 1977. London: The Pali Text Society.
Digha Nikaya (Dalogue Of The Buddha) Vol.III. Translated by Davids, Rhys. 1977. London: The Pali Text Society.
Majjhima Nikaya (The Middle Length Saying) Vol.II. Translated by Horner, I.B.1989. London: The Pali Text Society.
Vinaya Pitaka (The Book Of Dicipline Vol. II. Translated by Horner, I.B.1982. London: The Pali Text Society.
Mukti Wijaya K. 2001. Buddhayana Tinjaun Skolastik. Jakarta: Yayasan Dian Dharma
…………………., 1995. Memahami Buddhayana. Bandung: Yayasan Karaniya




Analisis Materi Kelas 3 Smp


Nama                    : susanto
Nim                       : 1008201049
Semester            : IV (empat)

 
Analisis Materi Kelas 3 Smp
NO
Sub pokok bahasan
Kemudahan
Kesulitan
Tingkat  perkembangan remaja
Hubungan analisis
dengan tugas perkembangan
1
Sahabat sejati
1.    Kemudahan menjelaskan arti sahabat sejati
2.    Penjelasan sahabat palsu.
1.  Aplikatif menjadi sahabat sejati (penerapan menjadi sahabat sejati).
2.  Membedakan sahabat sejati dan palsu pada kenyataan yang sebenarnya
1, 2,3,4,5,7,8.
Tingkat kesulitan materi pada kelas tiga smp ini terletak pada aplikasi atau penerapan materi sahabat sejati itu sendiri karena dilihat dari tugas perkembangan remaja ia mempunyai tugas untuk mengharapkan dan mempunyai perilaku social yang bertanggung jawab, namun remaja dalam materi sahabat sejati ciri-ciri sahabat sejati adalah suka menolong sahabat dikala senang dan susah suka member nasehat sukka memperhatikan keadaan kita, untuk tingkat smp ini kebanyakan mereka yang sedang mencari jatidiri dan anak smp biasanya saat teman melakukan perbuatan salah malah ikut dalam masalah itu karena melanggar aturan menurut mereka mempunyai keasikan sndiri  sedangkan sahabat sejati tidak akan ikut dalam masalah namun menasehati. Dengan sahabat sejati maka dari pengertian materi yang dijelaskan siswa akan mampu menjalin hubungan yang lebih matang, mencapai peran social menggunakan tubuhnya dengan efektif untuk saling tolong menolong menimbulkan rasa tanggungjawab sesame teman, dan hal ini menjadi mudah karena materi berkaitan dengan hubungan social yang sedang mereka jalani, namun mereka akan kesulitan dalam membedakan apakah teman mereka sahabat sejati ataukah bukan.




2
Kewajiban dan hak
1.       Kemudahan pada materi menjelaskan kewajiban dan ak

2.       Menceritakan kembali kisah sigala

3.       Mejelaskan kewajiban dan hak warga negara
1.    Penggolongan tiap kewajiban dan hak
Berdasarkan sigalovadasutta

2.    Aplikasi pendahuluan untuk menjalankan kewajiban  dari pada hak
2, 3, 4, 5, 8
Dengan materi kewajiban dan hak tingkat kemudahan yang ada adalah dari pengertian kewajiban dan hak hal ini dapat memunculkan pemahaman mereka mengenai peran sosila antara pria dan wanita, menerima dan menggunakan keadaan fisiknya secara efektif  jika pria kewajibanya misal membantu ayah mencari rumput dan bagi wanita dapat belajar dan membantu ibu memasak. Dengan melakukan kegiatan diatas remaja telah menjalankan tugas perkembangannya di no 2dan 3, saat mereka mereka mempelajari materi ini maka mereka akan mengetahui tanggung jawab perilaku sebagai anak  untuk menjadi seorang yang mandiri secara emosional dan mendapatkan pesan nilai sebagai di dalam sebuah rumah tangga dan lingkungan di sekitar mereka.
Kesulitan yang timbul adalah dari penggolongan antara kewajiban dan hak berdasarkan sigalovada sutta.
Dan aplikasi untuk mendahulukan kewajiban terlebih dahulu, remaja terbiasa dengan sifat yang menuntut dan ingin didalhulukan dari pada apa yang akan mereka kerjakan, untuk memunculkan kewajiban dahulu sebelum hak menjadi sangat sulit bagi remaja. Walaupun hal ini sesuai dengan tugas perkembangan 3,4 namun emosi remaja masih sangat tinggi sehigga apa yang di mintaya harus namun kewajibannya di kesampingkan.








3
Alam semesta
1.       Tidak ada
1.       Kesulitan pada materi alam semesta yang menyangkut:
Alam kehidupan diatas dan di bawah bumi.
Sebelas kammaloka
Enambelas arupa loka
Empa arupa loka

2.       Penggunaan bahasa pali (paliteks)
3,4
Kemudahan dalam materi ini tidak ada dan kesulitan  karena untuk alam semesta dan pembahasanya dan pembagianya dirasa masih sulit untuk di jelaskan bagi siswa smp,misalnya alam arupadhatu yang membutuhkan pemikiran yang rumit walaupun mereka sudah mampu untuk berfikir abstrak .
Kesulitanya adalah pada materi itu sendiri dan penulisan bahasa pali yang masih memerlukan kejelian. Untuk menggambarkan alam alam yang terbagi dalam tigapuluh satu alam sangat sulit di cerna untuk anak kelas tiga smp. Namun untuk materi ini sesuai untuk tugas perkembangan no 3,4 walaupun sulit dalam materi namun kita bias menumbuhkan kepedulian terhadap alam, dengan peduli lingkungan, sehingga siswa dapat membantu mengumpulkan sampah, menyapu halaman sekolah, dan memunculkan tanggung jawab terhadap sampah yang mereka buat.
4
Siapakah aku
1.       Kemudahan pada materi yang tidak terlalu banyak.
2.       Penjelasan  mengenai cita – cita.
1.       Penggunaan bahasa pali
2.       Penjelasan mengenai nama.
3.       Identifikasi nama.
4.       Apalikasi pencarian tujuan hidup
2, 4, 8.
Kemudahan pada materi yang tidak terlalu banyak, namun kesulitan yang muncul pada penjelasan nama,  yang menggunakan penulisan pali, dan penentuan tujuan hidup karena untuk taraf remaja mereka belum terlalu peduli terhadap tujuan hidup yang akan mereka tempuh. Materi ini sesuai dengan tugas perkembangan no 2,4,8. Karena setelah mempelajari ini siswa baik siswi di harapkan mendapatkan pengertian peran mereka sebagai wanitan ataupun pria, dan juga menumbuhkan perilaku yang bertanggung jawab didalam social, dan juga mendapatkan perangkat nilai, bahwa keakuan itu tidaklah ada, dan hidup perlu mempunyai tujuan.