STUDI TENTANG SKOLASTIK BUDDHAYANA
Disusun Untuk Mememuhi Salah Satu Tugas Individu
Mata Kuliah Filsafat Buddha II
Dosen Pengampu:
Sutikyanto Sasana Bodhi, S.Ag, M.Hum
SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA BUDDHA
STIAB ”SMARATUNGGA”
BOYOLALI
2009
KATA
PENGANTAR
Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Namo Buddhaya
Dengan puja dan
puji syukur kepada Sanghyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa, Sang Triratna, para Buddha, Bodhisatva
dan Mahasatva, atas pancaran kasih sayangnya yang telah di limpahkan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Setudi Tentang Skolastik
Buddhayana“.
Pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak antara lain:
1. Sutikyanto Sasana Bodhi, S.Ag,
M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Buddha II, yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi dalam pembuatan makalah ini.
2. Rekan-rekan mahasiswa dan
semua pihak yang telah membantu terselesainya makalah ini.
Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan,
dikerenaan keterbatasan pola pikir penulis baik sarana maupun prasarana, tetapi
tidak menjadi suatu masalah dan penghalang serta beban untuk penyusunan makalah
ini. Maka dari itu sangat bermanfaat apabila berbagai pihak berkenan untuk
memberikan saran dan kritiknya yang bersifat membangun.
Kami berharap
semoga makalah ini dapat berguna bagi lembaga pendidikan pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya .
Semoga Semua Mahluk Berbahagia
Sadhu... sadhu...sadhu...
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
BAB II SKOLASTIK BUDDHAYANA
A. Penelusuran Kitab Suci....................................................................... ....... 3
B. Konsep
Buddhayana.................................................................................. 6
C.
Terminologi
Buddhayana Universal........................................................... 7
BAB III PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................................. 12
DAFTAR REFERENSI
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Agama Buddha yang kini bermanifestasi ke seluruh dunia, terdiri dari
berbagai aliran yang bentuk lahiriahnya sangat berbeda antara satu dengan yang
lain; tentunya perbedaan-perbedaan itu memiliki segi positif tetapi juga mempunyai
segi negatif. Alangkah baiknya jika umat juga mengetahui berbagai cara untuk
melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan mereka sehari-hari, karena hal
ini dapat memberikan dorongan yang kuat untuk melaksanakan ajaran tersebut
dengan lebih baik lagi, terutama karena banyak segi penting yang belum dikenal.
Ajaran Sang Buddha telah tersebar luas ke seluruh Asia, dan di setiap
negara telah berintegrasi (bersatu) sesuai dengan pola kehidupan dan kebudayaan
di daerah masing-masing. Inilah sebabnya, mengapa kita berhadapan dengan
sedemikian banyak corak agama Buddha yang secara lahiriah khususnya, nampak
sangat berbeda.
Ajaran Sang Buddha kadang-kadang juga disebut Ajaran Damai. Tak pernah ada
perang untuk agama atau demi ajarannya, tetapi tentu saja ada kesalahan-kesalahan
yang telah terjadi. Akan tetapi
hal itu sangat jarang terjadi sehingga bisa diabaikan jumlahnya bila
dibandingkan dengan sejarah yang terjadi di negara-negara Barat. Salah satu
segi yang terpenting dalam ajaran ini ialah Cinta Kasih, suatu prinsip utama dalam
mewujudkan ini adalah bertoleransi terhadap semua yang hidup dan terhadap
pendapat orang lain. Umat Buddha di Asia belum pernah melibatkan diri dalam
peperangan dengan alasan demi agama, biasanya mereka mengalah (seperti di India).
Juga merupakan suatu fakta bahwa di Asia sedikit pun tidak dianggap aneh jika
ada orang yang
menganut agama yang berbeda.
Segi pokok yang lain adalah Kasih Sayang (Karuna), suatu prinsip yang
terdapat pada setiap aliran. Kasih Sayang bagi mereka yang masih dikuasai oleh
Tiga Akar Kejahatan yaitu Keserakahan (lobha), Kebencian (dosa), dan
Kebodohan/Ketidaktahuan (moha). Sektarianisme atau semangat meluap-luap untuk
membela aliran masing-masing adalah suatu bentuk kebodohan. Pada masa ini,
"peradaban" Barat makin meluas pengaruhnya di seluruh dunia. Dalam
beberapa hal kita dapat menyebutnya "peradaban", karena memberikan
'perbaikan bagi penghuni-penghuni lain di planet kecil ini, yang karena
kebersamaan kita di planet ini seharusnya kita merasakan suatu pertalian yang
erat. Tetapi dalam masalah-masalah lain lebih baik tidak memakai istilah
"peradaban", karena pengaruh atau lebih tepat campur-tangan ini,
disertai oleh penyebaran latar belakang kebudayaan Barat.
Suatu akibat yang terjadi dengan wajar, jika sekarang ini filsafat-filsafat
Timur sedang merembes ke Barat, dan orang Barat mulai cemas akan
"campur-tangan" ini dan merasa perlu untuk "menjaga kebudayaan
Barat", itu menunjukkan bekerjanya Hukum Sebab dan Akibat.
Apa yang telah disebutkan di atas akan dapat menambah sedikit keterangan
pada sukanya generasi baru umat Buddha di Barat yang tidak hanya sekedar tumbuh
untuk sementara, tetapi yang benar-benar dapat membantu terus perkembangan
agama Buddha. Sumbangan pertama yang dapat diberikan agama Buddha kepada
kebudayaan bangsa adalah suatu pendirian non-sektarianisme (tanpa semangat yang
meluap-luap untuk membela aliran masing-masing) suatu sikap untuk keselarasan
dan kerukunan bersama. Inilah yang sesungguhnya kita butuhkan, dan yang
sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat berharga.
Dalam hal ini yang penulis bahas adalah tentang
skolastik buddhayana. "Buddhayana", Jalan atau
Kendaraan Sang Buddha, adalah sebuah nama yang digunakan untuk menunjukkan
intisari ajaran, yang sebenarnya berdiri sendiri, terpisah dari aliran
kebudayaan yang mana pun yang telah berkembang sepanjang sejarah. Ini bukanlah
penciptaan suatu "yana" baru atau "tri-yana". Tujuannya
ialah untuk mencapai suatu perpaduan antara intisari ajaran dengan pola hidup
dan kebudayaan seseorang, seperti yang telah terjadi di negara-negara Buddhis;
dan kini juga terjadi di Indonesia.
BAB II
SKOLASTIK
BUDDHAYANA
A. Penelusuran
Kitab Suci
Terdapat dua versi Kitab Suci Tripitaka. Yang satu bersumber pada bahasa
Pali, dan yang lain bersumber pada bahasa Sansekerta. Dalam hal ini Tripitaka
tidak memiliki bukti konkrit mengenai bahasa apa yang dipakai oleh Buddha
Gotama. Buddha menggunakan lebih dari satu bahasa/dialek. Dalam Aranavibhanga sutta Sang Buddha memberikan
nasehat kepada para bhikku untuk menyesuaikan diri dengan bahasa-bahasa lokal
tempat mereka membabarkan ajaran (M. II, 234). Menurut Kinti sutta, orang seharusnya
lebih memperhatikan makna dan jiwa daripada hanya kata-kata (M. II, 239).
Karena itu Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk mempelajari ajaran Buddha
dalam bahasa masing-masing (Vin. II, 139).
Penemuan dan penelitian atas sisa-sisa naskah Buddhis kuno seperti
Udanavarga dan Dharmapada Gandhari, membuktikan bahwa naskah-naskah ini bukan
merupakan terjemahan dari Kitab Suci Pali. Sebuah riset telah mengungkapkan
bahwa baik Kitab Suci Pali maupun Sansekerta dapat ditelusuri ke asal yang
sama. Empat dari lima Kitab Nikaya
Pali dapat ditemukan padanannya pada empat Kitab Agama Sansekerta: Kitab Suci Pali yang dikenal sekarang ini
berasal dari penulisan di Sri Lanka. Berdasarkan penelitian linguistik,
sekalipun mirip, kitab suci itu bukan yang disusun dalam Konsili Ketiga.
Penyusunan Kitab Suci dimulai pada Konsili Pertama, tiga bulan setelah
Buddha parinibhana. Peserta Konsili 500 orang, sedangkan jumlah Arahat jauh
lebih banyak dari itu (pada peristiwa Magha Puja, tercatat 1250 Arahat).
Menurut Kitab Suci sendiri, Purana yang kembali dari daerah selatan sesudah
berakhirnya Konsili, memilih berbeda pendapat dengan hasil Konsili, mengingat Dharma
miliknya sendiri yang telah ia terima langsung dari Buddha (Vin. 11, 290).
Bisa dimengerti kalau terdapat sejumlah ajaran Buddha yang autentik, yang
tidak terkumpul dalam Konsili Pertama. Dan menjadi cukup beralasan, lewat
tradisi oral yang panjang, sampai kemudian dituliskan, keranjang Kitab Suci
terbuka untuk dimasukkan naskah-naskah lain di kemudian hari. Dalam Kitab Suci
dimasukkan pula khotbah-khotbah para siswa utama, seperti Sariputra,
Moggallana, Ananda, yang dipandang kalau diberikan oleh Buddha sendiri akan
sama isinya, sehingga dihargai seperti sabda Buddha.
Buddha memberi petunjuk empat pengujian otoritas, tentang apa yang
dinyatakan oleh seseorang diterima langsung dari Buddha, atau dari Sangha, atau
dari beberapa biku senior, atau dari satu biku senior, yang harus sesuai dengan
Sutta dan Vinaya (D. II, 123-125). Watak yang demokratis dan menghargai
pluralisme, ditunjukkan oleh Buddha antara lain dalam pesan kepada Cunda, agar
berkelompok mempelajari semua-ajaran bersama, dan tidak mempertengkarkannya (D.
Ill, 127). Buddha mengajarkan bahwa bagi orang yang pandai tidaklah cukup
melindungi kebenaran dengan membuat kesimpulan: hanya ini saja yang benar dan
lainnya adalah keliru (M. II, 171). Sebagai agama yang universal, ajaran
Buddha tidak bersifat eksklusif.
Di zaman Buddha tidak terdapat
penggolongan Theravada, Mahayana, atau Tantrayana. Dari kitab sejarah Dipavamsa
(abad IV M.), Mahavamsa (abad V M.) dan Samantapasadika (Komentar Vinaya)
diketahui bahwa istilah Theravada pertama kali dikenal setalah Konsili Pertama.
Apa yang diterima dalam Konsili itu disebut Theravada, Theriya, atau Therika
(Tradisi Para Sesepuh). Theravada telah masuk di Sri Lanka pada abad III
sebelum Masehi, yang pada waktu itu tidak dikenal sebutan Hinayana atau Mahayana.
Kedua istilah ini tidak ditemukan dalam Kitab Pali maupun kitab sejarah
Dipavamsa dan Mahavamsa. Bila kita sekarang mengenal penggolongan Theravada dan
Mahayana, perlu dimengerti bahwa Theravada tidak sinonim dengan Hinayana,
istilah yang muncul di India kemudian. Sekarang ini tidak ada lagi aliran
Hinayana yang berbentuk sebagai kumpulan umat.
Buddha mengajar dengan banyak cara (termasuk tahapan) dan dengan berbagai
alasan (upaya-kausalya).
"Kemudian Tathagata memperhatikan kapasitas dari para makhluk, yang
cerdas atau pun yang bodoh, yang rajin berusaha atau pun malas. Sesuai dengan
kemampuan mereka masing-masing. la mengkhotbahkan Dharma kepada mereka dengan
bermacam-macam cara yang tak terbatas, sehingga hal ini menyebabkan mereka
gembira dan dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya." Air hujan
yang sama jatuh berasal dari awan, hanya tumbuh-tumbuhan yang berbagai ragam
menjadi basah menurut porsinya, banyak atau sedikit sesuai dengan kebutuhan,
dan masing-masing dapat tumbuh berkembang. Bandingkan bagaimana cara
Buddha menuntun murid-murid-Nya, seperti Ananda, Culapanthaka, Moggallana, atau
Maha Kassapa. Lalu, cucu murid-Nya yang tidak pandai menghafal bisa tidak cocok
dengan guru seperti Ananda. Lain halnya kalau ia mendapatkan guru seperti Culapanthaka.
Kita bisa menemukan banyak contoh lain seperti ini. Buddha dapat dibandingkan
sebagai orang yang menyediakan makanan prasmanan bagi kita, dan kita bebas
untuk memilih makanan yang cocok untuk kita; Buddha tidak menyediakan nasi
kotak yang isi dan banyaknya sama untuk setiap orang.
Menurut Saddharmapundarika sutra,
sekalipun banyak metode, Buddha Gotama (bahkan semua Buddha)
mengajarkan Hukum Kebenaran yang sama. la menunjukkan Jalan Agung dengan ajaran
tiga wahana (triyana),
yaitu Sravakayana, Pratyekabuddhayana
dan Bodhisattvayana. "Seluruh Hukum Kebenaran itu hanya bagi Satu
Kendaraan (ekayana),
yaitu Buddhayana, sehingga para
makhluk yang telah menerima Hukum dari para Buddha tersebut akhirnya dapat
memperoleh Penerangan Sempurna". Mengikuti Jalan Bodhisatwa untuk menjadi
Samyak Sambuddha adalah tujuan tertinggi dan terluhur dalam usaha bagi
kebebasan yang lain. Tetapi tiga macam Penerangan Sempurna tersebut berada
dalam jalan yang sama.
Samdhinirrnovacana-sutra menyatakan
dengan jelas dan tegas bahwa mereka yang mengikuti garis Sravakayana, atau
Pratyekabuddhayana, atau garis para Tathagata (Mahayana) mencapai nirwana
dengan jalan yang sama. Untuk mereka semua hanya ada satu Jalan Kesucian (Visuddhi
magga) dan satu Kesucian (Visuddhi), tidak ada yang kedua. Sravakayana
dan Mahayana disebutkan sebagai satu kendaraan, satu yana (ekayana). Dewasa ini
kita menemukan banyak aliran yang mengklaim dirinya sebagai ajaran Buddha yang
benar. Kebenaran memang harus diuji, salah satunya adalah merujuk pada Kitab
Suci dan mengenali nilai-nilai dasar dari doktrin dalam praktiknya sesuai
dengan prinsip ajaran Buddha. Buddha bersabda, "Sebagaimana halnya dengan
samudera raya yang hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa garam, demikian pula
Dharma hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa pembebasan.
B.
Konsep Buddhayana
Buddhayana identitik
dengan ekayana, terminology teknis yang dipakai untuk merujuk dan merangkum
pandangan, aliran ajaran, atau pun pengertian agama Buddha secara keseluruahan,
yang menegaskan bahwa dhamma atau kebenaran hanya satu. Hal ini untuk mengikis
kekeliruan pandangan bahwa ada banyak aliran yang menunjukkan kebenaran yang
berlainan. Dalam buddhayana keanekaragaman dan adaptai bukan perbedaan atau
pemecah belahan, melainkan adalah bagian intergral dari ekayana, Buddhayana
bukan suatu sekte melainkan suatu agama Buddha.
Buddhayana bertujuan
mencapai suatu perpaduan antara intisari ajaran dengan pola hidup dan
kebudayaan seseorang. Buddhayana menolak sikap sectarian, yang tidak memiliki
toleransi terhadap ajaran dan praktik dari berbagai aliran di dalam agama
Buddha dari aliran sendiri. Kelemahan sectarian jelas, membatasi wawasan,
mempertebal egoisme, menimbulkan kebencian, yang tentu saja akan merintangi
kemajuan spiritual.
Buddhayana telah
berkembang sejak jaman Wangsa Syailendra dimana tertulis dalam Negarakretabhumi
karya pangeran Wangsakerta. Candi borobudur yang dibangun Wangsa Syailendra
mencerminkan bagaimana ajaran Theravada, Mahayana dan Wajrayana menyatu secara
harmonis. Apabila setiap hari mengingat baik-baik apa yang dibicarakan di atas,
kita akan semakin dan banyak memperoleh ketenangan dan kedamaian batin. seperti
yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para siswanya. Konsep Buddhayana hanya
bertujuan untuk memperlihatkan pentingnya menghindari pengelompokan,
sektarianisme, dan bentuk-bentuk perpecahan yang serupa.
Kekuatan Buddhayana terletak dalam semangat persatuan. Dalam sejarah orang
Barat terdapat istilah "menyebar dan kuasailah". Hal itu me-rupakan
ketamakan, kebencian, dan kebodohan yang menguasai kita, karena ketiga hal
itulah pandangan dan batin kita terganggu; dan memecah belah kita dalam
keengganan, iri hati, kebencian, cemburu, dan banyak pula kondisi mental yang
tidak baik lainnya, sehingga kita kehilangan pandangan benar dan tidak dapat
melihat Kesunyataan lagi.
C. Terminologi Buddhayana Universal
Dengan makin sempitnya dunia sebagai akibat arus globalisasi, maka saling
hubungan antar aliran pun akan semakin terjadi. Lebih-lebih setelah
terbentuknya WFB (World Fellowship of Buddhist) pada tahun 1950 dan WBSC (World
Buddhist Sangha Council) pada tahun 1966.
Sesuai dengan sifat Buddhis dan juga karena memiliki inti ajaran dan tujuan
yang sama, maka kecenderungan bersatunya kembali aliran agama Buddha akan terus
meningkat. Akan terlihatlah oleh mereka yang berwawasan luas, bahwa
sesungguhnya ketiga aliran agama Buddha (Theravada, Mahayana, dan Vajrayana)
adalah saling melengkapi. "The Third Annual International Buddhist
Seminar" yang berlangsung di New York pada tanggal 9 Maret 1974, mencetuskan
gagasan untuk mempertautkan semua aliran agama Buddha di bawah nama Ekayana
atau Buddhayana.
Buddhayana adalah terminologi teknis yang dipakai untuk merujuk dan
merangkum pandangan, aliran ajaran, ataupun pengertian agama Buddha secara
keseluruhan. Dengan demikian setara dengan agama Buddha itu sendiri. Seperti
yang dapat dilihat dari pengertian-pengertian awal maupun belakangan yang
mengacu kepada istilah ini, terminologi Buddhayana dipakai untuk mengikis
kekeliruan pandangan bahwa agama Buddha seolah-olah terpecah dalam sekian
banyak aliran ajaran yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, serta mencerminkan
kebenaran yang berlainan. Oleh karena itu, selain Buddhayana dikenal pula
Ekayana. Dari pengertian ini dapat kita lihat dengan jelas bahwa Buddhayana
ataupun Ekayana bukan merupakan sekte baru dalam lingkungan agama Buddha
manapun di dunia ini, termasuk di Indonesia.
Dr. Ananda W.P. Guruge (Srilanka) dalam ceramahnya yang berjudul
"Universal Buddhism", menyatakan: Saya meramalkan timbulnya kecenderungan-kecenderungan
baru dalam agama Buddha di Barat. Interaksi yang rapat dari berbagai aliran
yang berbeda akan berakibat saling mempengaruhi. Pakar-pakar Barat telah
menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama Buddha yang
menggabungkan ketiga tradisi dari Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Kita
mendengar istilah-istilah Triyana (ketiga jalan) dan Buddhayana (jalan Sang
Buddha) sebagai nama untuk bentuk gabungan dari agama Buddha.
Beberapa tragedi telah menyebabkan apa yang dengan tepat dapat disebut
Buddhist Diaspora. Dengan jatuhnya China nasionalis, banyak ahli-ahli dan
pemimpin-pemimpin agama pindah ke Hongkong, Taiwan dan bagian-bagian lain dari
dunia ini, khususnya Asia dan Amerika Utara. Pembuangan diri Yang Mulia Dalai
Lama mengakibatkan terpencarnya kekuatan dan sumber agama Buddha Tibet ke
seluruh dunia. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa tradisi agama Buddha
yang paling bergema di dunia internasional sekarang ini adalah agama Buddha
Tibet. Beberapa puluh tahun kemudian pelarian besar-besaran dari Indo China
mengakibatkan banyak berdirinya lembaga-lembaga Buddhist di Eropa dan Amerika.
Sekarang ini mereka yang hidup di kota–kota besar di Eropa mempunyai kesempatan
yanag mudah untuk berhubungan dengan semua tradisi agama Buddha. Hampir tidak
ada mazhab yang tidak ada. Jenis aliran baru yang masuk bergantung pada
usaha–usaha Dharmaduta pada seperempat abad pertama ini yang memusatkan diri
pada agama Buddha Theravada dan agama Buddha Zen. Umat Buddha perlu untuk
menggali lebih dalam dan mendapatkan apa yang menjadi persatuan dan kesatuan
dalam agama Buddha, berhubungan dengan berbagai bentuk agama Buddha dan dengan
ahli-ahli yang mampu dan bersimpati untuk melakukan kajian perbandingan yang
mendalam.
Dunia Barat pada saat ini merupakan labotarium terbaik yang ada untuk
kajian agama Buddha yang mendetail. Adalah penting bagi untuk mempergunakan
dengan sebaik-baiknya kesempatan yang diberikan karena umat buddha masih harus
menerangi banyak ketidaktahuan dan buruk sangka. Kenyataan yang menyedihkan
tetapi benar, bahwa kebanyakan umat Buddha, teristimewa mereka yang berasal
dari negara-negara yang secara tradisional adalah Buddhist terus bersikap
menyendiri. Keanekaragaman agama Buddha adalah akibat dari ciri unik Sang
Buddha. Sikapnya sebagai seorang guru sangatlah longgar (liberal). Beliau
menginginkan orang-orang berpikir untuk dirinya masing-masing, Beliau mendorong
untuk melakukan penyelidikan dan pengujian yang kritis. Salah satu sebutan yang
Beliau berikan kepada ajaran-Nya adalah bahwa ajaran-Nya terbuka bagi siapa
saja untuk datang dan memeriksanya.
Sang Buddha melarang gagasan tentang dogma. Masing-masing telah mewarisi
bentuk agama Buddha yang berkembang di negara-negara tertentu sebagai jawaban
atas tuntutan-tuntutan dan pengaruh-pengaruh filosofis, sosial dan keagamaan.
Guru-guru perintis yang membawa agama Buddha ke negara kita tidak memaksakan
pergantian agama semua gagasan-gagasan dan praktek-praktek agama lainnya itu
terhisap kedalam agama Buddha. Apabila seseorang mencoba memurnikan agama
Buddha dengan apa yang telah terhisap itu, maka hanya mencoba melakukan sesuatu
yang sulit tak berguna. Sulit karena tidak akan pernah sepakat mengenai apa itu
agama Buddha murni. Tidak berguna karena agama Buddha adalah cara hidup, dan
hidup sesuai dengan prinsip-prinsip-Nya tidaklah mengharuskan harus sesuai
dengan ajaran-ajaran dasar yang sangat kaku.
Sang Buddha sendiri prakmatis. Beliau menekankan mengetahui sedikit ajaran
tetapi mengamalkannya dengan intensif. Beliau juga menegaskan bahwa ajaran itu
hanyalah alat untuk dipakai bila diperlukan dan ditinggalkan ketika tujuan
telah dicapai. Perumpamaan Beliau mengenai rakit megibaratkan seseorang
berpegang pada ajaran sebagai seseorang yang membawa rakit diatas kepalanya sesudah
menyeberangi sungai. Umat di seluruh dunia mengakui bahwa tidak alasan apapun
bagi mereka untuk memperdebatkan apa yang benar dan yang tidak benar, apa yang
lebih dulu apa yang belakangan, apa yang ortodoks (kolot) atau yang tidak.
Pengakuan ini berasal dari kenyataan bahwa setiap mazhab agama Buddha telah
memelihara batang tubuh ajaran yang langsung dari Sang Buddha dan tetap tidak
berubah.
Perbedaan-perbedaan yang ada terletak pada hiasan-hiasan luar, penekanan
dan terkadang penafsiran-penafsiran. Tapi dasar agama Buddha tetap satu. Khotbah
yang diberikan oleh Lama Yehse tentang inti ajaran dari agama Buddha. Beliau
menguraikan satu persatu Empat Kebenaran Mulia; tiga ciri keberadaan, yaitu
Anicca, Dukkha, dan Anatta; dua belas faktor yang saling bergantungan (Paticca
Samuppada); aturan dasar etika Buddhist; dan konsep Nibbana. Beliau berbicara
berdasarkan agama Buddha Tibet. "Jangan dilihat perbedaan-perbedaannya
tetapi lihatlah dasar persamaannya saja yang merupakan ajaran-ajaran Sang
Buddha sendiri". Semakin dalam seseorang melakukan kajian perbandingan
mengenai mazhab-mazhab yang berbeda dari agama Buddha, ia akan semakin gembira
mendapatkan kesatuan agama yang agung ini, kita dapat melihat arti dan
pentingnya perbedaan-perbedaan tersebut.
Kebutuhan manusia akan agama adalah banyak dan berlainan. Perbedaan ini
sesuai dengan perkembangan intelektual dan latar belakang sosial seseorang.
Batin yang sangat berkembang memperoleh kepuasan hanya dalam meditasi dan
pengalaman-pengalaman mental yang makin bertambah rumit seperti Jhana. Orang
yang berorientasi pada intelektual mencari kesenangan dalam kajian dan
perenungan. Bagi mereka yang lain-lainnya, berbagai masalah sehari-hari dan
kecemasan yang mengikat perhatiannya, mereka mencari penghiburan dari agama.
Penghiburan ini mereka harapkan dengan usaha seminimal mungkin. Agama Buddha,
sebagaimana kita lihat di sekitar kita, memenuhi setiap kebutuhan sesuai dengan
standar dan kriterianya sendiri. Sangatlah luar biasa bila satu agama dapat
bekembang memenuhi setiap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Tidaklah mengherankan
bila orang memilih bentuk-bentuk yang berbeda dari agama Buddha sebagai
kesukaannya, karena masing-masing dari mereka melakukannya sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan khususnya. Semakin kita mengakui kenyataan ini, semakin
kita mengakui kebijaksanaan nenek moyang kita yang mengijinkan agama Buddha
menjadi begitu beraneka ragam. Tetapi semakin kita bertambah dekat dan mulai
banyak berhubungan langsung, kita melihat kebutuhan akan beberapa lambang kesatuan
diantara mazhab yang berbeda dari agama Buddha.
Sejak tiga puluh enam tahun terakhir ini, banyak kemajuan yang telah kita
capai ke arah itu. Pada pertemuan pertama World Fellowship of Buddhist tahun
1950, telah diambil sejumlah keputusan, diantaranya : Menerima secara umum
keenam warna bendera Buddhist, Pengakuan dan perayaan Waisak secara umum, dan
Penerimaan perumusan Pali mengenai Tisarana dan Pancasila. Ahli-ahli Barat
telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama yang menggabungkan
ketiga tradisi dari Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Kita mendengar
istilah-istilah seperti Triyana (Ketiga jalan) dan Buddhayana (Jalan Buddha).
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Buddhayana adalah
terminology teknis yang dipakai untuk merujuk dan merangkum pandangan, aliran
ajaran, atau pun pengertian agama Buddha secara keseluruhan. Dengan demikian
setara dengan Agama Buddha itu sendiri, seperti yang dapat dilihat dari
pengertian-pengertian awal maupun belakangan yang mengacu pada istilah tentang
terminologi ini.
Terminologi Buddhayana
ini dipakai untuk mengikis kekeliruan pandangan bahwa Agama Buddha seolah-olah
terpecah dalm sekian banyak aliran ajaran yang berbeda-beda dan terpisah-pisah,
serta mencerminkan kenaran yang berlainan. Buddhayana ini juga dikenal dengan
nama Ekayana yang merupakan sutu kesatuan dari beberapa aliran dalam agama
Buddha yang berkembang menuju pada Agama Buddha yang harmonis.
Daftar Referensi
Digha Nikaya (Dalogue Of The Buddha) Vol.II. Translated by Davids,
Rhys. 1977. London: The Pali Text Society.
Digha Nikaya (Dalogue Of The Buddha) Vol.III. Translated by Davids,
Rhys. 1977. London: The Pali Text Society.
Majjhima Nikaya (The Middle Length Saying) Vol.II. Translated by
Horner, I.B.1989. London: The Pali Text Society.
Vinaya Pitaka (The Book Of Dicipline Vol. II. Translated by Horner,
I.B.1982. London: The Pali Text Society.
Mukti Wijaya K. 2001. Buddhayana Tinjaun Skolastik. Jakarta:
Yayasan Dian Dharma
…………………., 1995. Memahami Buddhayana. Bandung: Yayasan
Karaniya